Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATERI-MATERI MAKALAH LOMBA PENYULUH AGAMA ISLAM TELADAN, Keluarga Sakinah

 

 

Metode Dakwah Penyuluh Agama Islam dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah terhadap Pasangan Calon Suami Istri di Kantor Urusan Agama (KUA)

 

METODE DAKWAH PENYULUH AGAMA ISLAM DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH TERHADAP PASANGAN CALON SUAMI ISTRI DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

 

 

Abstrak

 Metode dakwah Penyuluh Agama Islam terhadap calon pasangan suami istri di kantor urusan agama (KUA) sangat penting diterapkan yang tujuannya yakni tidak lain untuk memberikan bekal dalam membangun rumah tangga tentang bagaimana  seharusnya membangun rumah tangga yang sehat dan bagaimana membangun mahligai rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan agama islam sehingga pada akhirnya para pasangan calon suami istri dapat hidup bahagia dan dapat mengurangi angka tingkat perceraian. Karena pada dasarnya manusia mempunyai keunikan tersendiri yang ditandai dengan perbedaan watak dan latar belakang yang berbeda pula  untuk itu tidak mudah untuk menggabungkan kedua karakter yang berbeda. Hal tersebut pada dasarnya juga membutuhkan kesadaran diri dari masing-masing dari pasangan yang bersangkutan dan juga perlu didorong oleh bantuan Penyuluh Agama Islam. Alhasil penelitian menunjukkan bahwa metode dakwah yang digunakan oleh Penyuluh Agama Islam terhadap pasangan calon suami istri di Kantor Urusan Agama (KUA) benar-benar bisa memberikan bekal yang besar dalam memberikan efek kebahagian dalam membangun mahligai rumah tangga dengan  menggunakan berbagai macam metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Aktivitas dakwah tersebut sangat tepat terhadap perkembangan masyarakat di wilayah masyarakat khususnya para pasangan calon suami istri. Aktivitas dakwah tersebut benar-benar dapat memberikan dampak yang positif bagi calon pasangan suami istri melalui Penyuluh Agama Islamyang berperan di bidang bimbingan pernikahan  tersebut.

 

Kata kunci: Metode Dakwah, Keluarga Sakinah, Penyuluh Agama Islam, Pasangan calon suami istri.

 

 

A.    Latar Belakang Masalah

           Kenyataan yang harus diketahui oleh setiap individu dalam suatu negara bahwa kesuksesan dari negaranya berkaitan erat dengan dimensi keberagamaan yang berjalan di Negara tersebut. Kemudi utama perkembangan kondisi sosial dalam dinamika kehidupan masyarakat memiliki keterkaitan yang kuat terhadap mutu keagamaannya. Tidak diragukan lagi, beragamnya kondisi sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya masyarakat dalam suatu budaya akan memberikan warna yang tajam dalam pola keberagamaan mereka.[1]Dengan beragamnya kondisi sosial tersebut seluruh manusia akan dihadapkan dengan bermaca-macam problem yang dapat melanda keadaan kondisi umat manusia salah satunya dalam dunia pernikahan.        

   Dalam kehidupan berkeluarga atau menempuh kehidupan dalam perkawinan adalah harapan dan niat yang wajar dan sehat dari setiap anak muda dan remaja dalam masa pertumbuhannya. Pengalaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa membangun keluarga itu mudah, namun memelihara dan membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami istri tergantung kedua belah pihak. Keluarga yang bisa mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan itu yang disebut dengan keluarga sakinah.

   Untuk membangun sebuah mahligai keluarga tidak cukup dengan hanya bermodalkan perasaan, materi, apalagi modal nekat. Islam telah menuntun kepada umatnya untuk membangun keluarga sakinah setelah perkawinan dilaksanakan. Islam juga menganjurkan kepada para calon suami atau calon istri untuk memilih dengan cara yang sakinah.  Adakalanya seorang calon mempelai mempersiapkan dengan baik, diantaranya dengan konseling perkawinan. Konseling perkawinan (marriage counseling) adalah upaya membantu pasangan calon suami istri oleh konselor profesional sehingga mereka dapat berkembang dan mampu memecahkan masalah dengan cara yang saling menghargai, toleransi, dan dengan komunikasi yang penuh pengertian, sehingga tercapai motivasi berkeluarga, perkembangan, kemandirian dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga.

   Secara kodrati, manusia hidup memerlukan bantuan orang lain. Bahkan, manusia baru akan ‘’menjadi manusia’’ ketika berada dalam lingkugan dan berhubungan dengan manusia. Dengan kata lain, secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial. Tuntutan saling kenal-mengenal yang harus dilakukan antara masing-masing orang sebagai manifestasi interaksi adalah bagian dari proses bimbingan yang harus dijalankan oleh orang lain kepada saudaranya untuk bisa menjaga dirinya dari hal-hal yang bersifat negatif dan melakukan hal-hal yang positif. Dinamika tersebut dapat kita tengok pada lingkungan Kantor Urusan Agama atau dapat kita ketahui dengan istilah KUA. Dalam lembaga tersebut melayani semua umat muslim untuk melakukan pernikahan secara sah dengan cara mencatatkan pernikahan yang dilakukan orang yang bersangkutan. Misalnya, di Kantor Urusan Agama (KUA).

   Dalam Kantor Urusan Agama terdapat Penyuluh Agama Islam yang bertugas untuk memberikan penerangan seputar bimbingan perkawinan tentang bagaimana menjalin hubungan suami istri yang ideal dan dapat menempuh keluarga yang sakinah. Dalam lembaga pemerintah tersebut seorang penyuluh memberikan bimbingan pernikahan dan memberikan pembinaan terhadap pasangan calon suami istri yang hendak menikah. Namun kenyataannya  masih terdapat  perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami istri.

   Sebagaimana yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) terdapat perceraian yang disebabkan, terjadinya perselisihan dan pertengkaran karena suami malas bekerja, adanya pihak ketiga, berbohong pada keluarga, dan ketidak harmonisan keluarga karena ditinggal kerja keluar negeri. Tercatat pada tahun 2012 terdapat pernikahan 686 pasangan suami istri dengan talak 17 pasangan dan 68 cerai. Jadi pada tahun 2012 terdapat 85 perceraian dengan 12,39 persen dan pada tahun 2013 terdapat pernikahan 1034 pasangan suami istri dengan talak 14 dan 72 cerai. Jadi pada tahun 2013 terdapat 86 perceraian dengan 8,31 persen. Kemudian pada tahun 2014 terdapat pernikahan 1004 pasangan suami istri dengan talak 30 pasangan dan 44 cerai. Jadi pada tahun 2014 hanya terdapat 74 perceraian dengan 7,37 persen.  Maka dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan angka perceraian di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) dengan data penurunan 4,08 persen dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 dan penurunan 0,94 persen dari tahun 2013 sampai dengan 2014.

   Terjadinya Penurunan angka perceraian tidak lepas dari adanya metode dakwah yang digunakan oleh Penyuluh Agama Islam yang bekerjasama dengan lintas dinas sektoral dalam memberikan bimbingan penyuluhan pernikahan kepada pasangan calon suami istri yang menyebabkan terjadinya penurunan angka perceraian secara signifikan di Kantor Urusan Agama (KUA)

B.     Kerangka Berpikir

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan salah satu lembaga pemerintah yang berada di bawah naungan kementrian agama yang bertugas mencatat pernikahan terhadap ke dua calon mempelai yang hendak menikah dan diikuti pertugas yang berwenang dalam menikahkan dan proses pembinaan atau bimbingan perkawinan yang dilakukan oleh  Penyuluh Agama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA).

Sedangkan perkawinan menurut term Arab Nikah merupakan fitrah manusia. Setiap individu memerlukan orang lain dalam menjalani kehidupannya yang tujuan akhirnya memperoleh kebahagian lahir dan batin. Salah satu bentuk adanya orang lain dalam hidupnya adalah perkawinan. Bahkan, dalam ajaran islam, perkawinan adalah sunnah Rasul Allah. Melalui perkawinan itulah terbentuk keluarga. keluarga ialah unit satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Peranan keluarga sangat strategis dalam menentukan masa depan masyarakat, bangsa, negara, dan agama.

Sejatinnya perkawinan merupakan upaya untuk menyatukan dua keunikan. Perbedaan watak, karakter, selera dan pengetahuan dari dua orang (suami dan istri) disatukan dalam rumah tangga, hidup bersama dalam satu waktu yang lama. Ada pasangan yang cepat menyatu, ada yang lama baru bisa menyatu, ada yang kadang menyatu hingga anaknya banyak, tetapi di luar itu mereka selalu bertikai. Kehidupan berumah tangga ada yang berjalan mulus, lancar, sukses, dan bahagia, ada yang setelah lama mulus  tiba-tiba dilanda badai, ada yang selalu menghadapi ombak dan badai tetapi selalu bisa menyelamatkan diri.

Untuk menuju keluarga bahagia atau dalam bahasa agama sering disebut  dengan istilah keluarga sakinah membutuhkan suatu konseling perkawinan. Konseling ini dibutuhkan bagi mereka yang mempunyai problem diseputar perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mulai memilih jodoh, ekonomi keluarga yang kurang mencukupi, perbedaan  watak, ketidak puasan hubungan seksual, kesalahpahaman antara suami istri dan lain sebagainya.[2] Di sinilah yang menjadi bagian paling penting dari tugas Penyuluh Agama Islam dalam menyampaikan metode dakwahnya dalam memberikan pembinaan atau yang lebih dikenal dengan bimbingan perkawinan  bagi mereka pasangan calon suami istri. Hal ini harus bisa dikembangkan dari beberapa aspek di atas, sehingga keluarga sakinah dapat menjadi kenyataan dan tidak hanya menjadi angan-angan bagi mereka.

Misalnya  Kantor Urusan Agama (KUA), menjadi sorotan pertama. Di mana di dalamnya terdapat Penyuluh Agama Islam yang bertugas memberikan penerangan dalam  beberapa bidang keagamaan salah satunya di bidang pernikahan. Tujuannya agar metode dakwah Penyuluh Agama Islam  benar-benar mengantarkan mereka pada keluarga yang  sakinah.

C.    PEMBAHASAN

1.           Pengertian Dakwah

   Secara etimologi (lughah), kata dakwah berasal dari bahasa arab yaitu: ‘’da’a, yad’u, da’watan’’. Kata tersebut berarti menyeru, memanggil, mengajak, dan menjemput. Selain itu dakwah juga bermakna memotivasi dan membimbing. Menurut Jum’ah Amin ‘Abd al-‘Aziz dakwah dalam makna lebih luas menakup tiga hal:

a.    Al-Nida’, artinya memanggil atau mengundang;

b.    Al-Du’a ila syai’, artinya meneyru atau mendorong kepada sesuatu; dan

c.    Al-Da’wah ila qadiyah, artinya membela terhadap yang hak atau yang batil.[3]

   Sedangkan dakwah menurut istilah merupakan suatu aktifitas yang mempunyai tujuan tertentu yang unsur-unsurnya adalah materi dakwah, tujuan dakwah, tata cara dakwah, pelaksanaan dakwah, sasaran atau obyek dakwah. Jadi sebenarnya akan menjadi suatu definisi yang jami’, mani’ apabila definisi dakwah itu mencakup lima unsur di atas. Jadi dakwah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama islam melalui cara yang bijaksana dengan materi ajaran islam agar mereka mendapatkan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.[4]

Menurut Syaikh Abdullah Ba’lawi mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak membimbing, dan memimpin orang yang belum mengerti atau sesat jalannya dari agama yang benar untuk dialihkan ke jalan ketaatan kepada Allah, menyuruh  mereka berbuat baik dan melarang mereka berbuat buruk agar mereka mendapat kebahagian di dunia dan di akhirat.[5] Perwujudan dakwah menurut beliau  bukan sekedar peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan saja, tetapi menuju pada pelaksanaan sasaran yang lebih luas. Dakwah harus lebih berperan menuju pada pelaksanaan ajaran islam secarah menyuluruh dalam aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.

Berdasarkan pengertian dakwah di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah memiliki pengertian yang luas. Ia tidak hanya berarti mengajak dan menyeru umat manusia agar memeluk agama islam, lebih dari itu dakwah juga berarti upaya membina masyarakat islam agar berjalan ke jalan Tuhan-Nya dengan berpegan teguh dengan Al-Qur’an dan Hadist agar nantinya manusia selamat di dunia dan di akhirat. Dakwah juga mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syari’at islam yang telah ditetapkan Allah SWT.

 

2.             Tujuan dan Prinsip Dakwah

                 a        Tujuan Dakwah

 Tujuan dapat dirtikan sebagai suatu usaha yang ingin dicapai dalam kadar tertentu dengan segala usaha  yang dilakukan. Tujuan memilki empat batasan, yaitu  hal yang hendak dicapai, jumlah atau kadar yang diinginkan, kejelasan yang diinginkan dan ingin dituju. Dengan demikian kegiatan dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, tujuan ini dimaksudkan memberi arah, pedoman, metode bagi aktifitas dakwah tanpa tujuan yang jelas seluruh aktivitas dakwah akan sia-sia. Oleh karena itu juru dakwah harus memahami tujuan akhir dari semua kegiatan dakwah yang dilaksanakannya.

Menurut M. Arifin tujuan dakwah yaitu meumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang dibawakan oleh juru dakwah atau penerang agama.[6] Tujuan dakwah juga untuk menegaskan ajaran islam kepada setiap insani baik individu maupun masyarakat sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan yang sesuai dengan ajaran islam tersebut.

                 b       Prinsip Dakwah

   Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Kita bisa berpasangan pada prinsip-prinsip yang telah di susun dalam menjalani hidup tanpa harus kebingungan arah karena perinsip bisa memberikan arah dan tujuan yang jelas pada setiap hal.[7] Dalam melakukan dakwah seorang Da’i harus memerhatikan prinsip-prinsip dalam berdakwah. Karena prinsip merupakan pedoman bagi Da’i untuk melakukan dakwah.

   Adapun prinsip-prinsip dakwah yang diambil dari pemikiran Jumi’ah Amin ‘Abdul, Aziz. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan strategi, metode, atau tehnik untuk mencapai dakwah yang yang efektif adalah sebagai berikut :

a.    Memberi keteladanan sebelum berdakwah (al-qudwah qabl al-da’wah)

b.    Mengikat hati sebelum menjelaskan (al-ta’liif qabl al-ta’rif)

c.    Mengenalkan sebelum memberi beban (al-ta’rif qabl al-taklif)

d.   Bertahap dalam pembebanan (al-tadarruj fil al-taklif)

e.    Memudahkan bukan menyulitkan (al-tasyir laa al-ta’siir)

f.     Masalah pokok sebelum yang kecil (al-ushuul qabl al-furu’)

g.    Membesarkan hati sebelum memberi ancaman (al-targhiib al tar-biib)

h.    Memberi pemahaman bukan mendikte (al-tafhim laa al-taqiin)

i.      Mendidik, bukan menelanjangi (al-tarbiyyah laa al-ta’riyyah)

j.      Muridnya guru bukan muridnya buku (tilmiidz imam la til-miidz kitaab).[8]

 

3.             Metode Dakwah

                 a        Pengertian Metode Dakwah

Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu ‘’meta’’ (melalui) dan‘’hodos’’ (jalan, cara). Dengan demikian, kita dapat artikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa jerman methodicay artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.[9]

   Dari paparan di atas dapat diambil pengertian bahwa, metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang Da’i (komunikator) kepada Mad’u(penerima pesan) untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang. Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandanganhuman oriented menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.

                 b       Macam-Macam Metode Dakwah

  äí÷Š$# 4n<Î) È@‹Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïdß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  

Artinya: Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tantang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-Nahl (16): 125)

 

Dari ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu :

1)             Metode  Al-Hikmah

Metode dakwah Al-Hikmah (wisdom)  yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metode dakwah dalam bentuk kata-kata maupun perbuatan Da’i yang bernilai islami. Menurut M. Natsir, metode hikmah digunakan sebagai metode dakwah untuk semua golongan , golongan cerdik. Oleh karena itu metode dakwah Al-Hikmah bisa berarti hikmah dalam berbicara  sesuai keadaan Mad’u yang dihadapi seperti dalam ceramah. Begitu pula hikmah ketika dakwah dengan akhlak dan metode memberi contoh.[10]

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif Mad’uAl-Hikmah merupakan kemampuan Da’i dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam serta  realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, Al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.

2)             Metode Al-Mujadalah

Dari segi etimologi (bahasa) lafazh Mujadalah terambil dari kata ‘’jadala’’ yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif pada huruf jim yang mengikutiwazan faa ala, ‘’jaa dala’’ dapat bermakna berdebat, dan ‘’Mujadalah’’ perdebatan. Kata ‘’jadalah’’ dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.

Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian Al-Mujadalah (al-Hiwar). Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirinya permusuhan di antara ke duanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.[11]

Dari pengertian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa, Al-Mujadalahmerupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan yang lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.[12]Mujadalah merupakan cara terakhir yang digunakan yang digunakan untuk berdakwah, manakala kedua cara sebelumnya tidak mampu.

3)             Metode Al-Mau’idza Al-Hasanah

Secara bahasa, mau’izah hasanah terdiri dari dua kata yaitu mau’izah danhasanah. Kata mau’izah berasal dari kata wa’adza ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah merupakan kebalikan fansayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.Mau’izah hasanahdapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.[13] Jadi metode Al-mau’idza Al-hasanah merupakan bentuk ceramah nasehat atau penerangan yang digunakan bagi masyarakat awam.

Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah dibagi tiga golongan, sehingga masing-masing harus menggunakan pendekatan yang berbeda.

a)             Golongan cendikiawan, yaitu golongan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir secara kritis. Golongan ini harus didakwahkan secara Hikmah, yaitu dengan alasan, dalil dan hujah yang dapat diterima oleh akal sehat.

b)             Golongan awam, yaitu golongan masyarakat yang belum mampu berfikir secara kritis dan belum memahami sesuatu makna secara mendalam. Golongan ini harus didakwahkan dengan cara memberikan pelajaran yang baik (Al-Mau’izah Hasanah), yaitu dengan anjuran dan didikan yang mudah mereka pahami.

c)             Golongan yang tingkat kecerdasannya berada antara kaum cendikiawan dan awam, atau lazim disebut sebagai golongan pertengahan. Mereka harus didakwahkan secara dialog, debat, diskusi atau Mujadalah.[14]

 Kemudian menurut  Abdullah dalam bukunya penulis juga menemukan       macam-macam metode dakwah diantaranya sebagai berikut :

 

a)             Metode Bi Al-Lisan (Ceramah)

   Metode ceramah atau muhadlarah     atau pidato ini telah dipakai oleh semua Rasul Allah dalam menyampaikan ajaran Allah Swt. Sampai sekarang pun masih merupakan metode yang paling sering digunakan oleh para pendakwah sekalipun alat komunikasi modern telah tersedia sebagai contoh Khotbah Jum’at. Ceramah Jum’at ini tidak seperti ceramah-ceramah yang lain. Ia telah ditentukan waktu, tempat dan unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan aturan yang ada dalam hadis dan kitab-kitab fikih.

b)             Metode Bi Al-Kitabah (Tulisan)

   Metode karya tulis merupakan sebuah keterampilan tangan dalam menyampaikan pesan dakwah. Keterampilan tangan ini tidak hanya melahirkan tulisan, tetapi juga gambar atau lukisan yang mengandung misi dakwah. [15]

c)              Metode Bi Al-Kitabah

tepatnya disasarkan terhadap komunitas yang wilayahnya berjauhan dengan kondisi Da’i dengan mengirimkan surat. Menurut sejarah, Nabi Muhammad pernah mengembangkan dakwahnya dengan cara mengirimkan surat kepada para pemimpin dan raja-raja pada waktu itu, yang isinya mengajak mereka untuk memeluk islam.

d)            Metode Bi Al-Hal (Perbuatan)

   Secara sederhana, dakwah Bi Al-Hal dapat dimaknai keadaan, perilaku, akhlaq dan keteladanan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, dakwah yang dimaksud disini yaitu dakwah dengan cara perbuatan. [16] Dakwah Bi Al-Hal akan lebih berkesan apabila ditujukan kepada rakyat miskin, dengan memenuhi enam kebutuhan, yaitu pangan (makanan), sandang (pakaian), papan (perumahan), pendidik, pekerjaan dan kesehatan. Melalui dakwah ini secara langsung akan turut merubah ekonomi dan sosial menuju kearah masyarakat yang sejahtera.

   Menurut pandangan Ali Aziz juga menegaskan dalam bukunya tentang metode dakwah bahwa:

e)             Metode Konseling

   Metode konseling merupakan wawancara secara individual dan tatap muka antara konselor sebagai pendakwah dan klien sebagai mitra dakwah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

f)              Metode Pemberdayaan Masyarakat

   Salah satu metode dalam dakwah Bil Al-Hal (dakwah dengan aksi nyata) adalah metode pemberdayaan masyarakat, yaitu dakwah dengan upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki kemandirian. Metode ini selalu berhubungan antara tiga aktor, yaitu masyarakat (komunitas), pemerintah, dan agen (pendakwah).

g)             Metode Kelembagaan

   Metode kelembagaan yaitu pembentukan dan pelestarian norma dalam wadah organiasi sebagai instrument dakwah. Untuk mengubah perilaku anggota melalui institusi umpamanya, pendakwah harus melewati proses fungsi-fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating) dan pengadilan (controlling).[17]

 Bagi seorang Da’i sangat penting dalam memilih metode dakwah sebagaimana yang telah penulis paparkan pada sebelumnya guna suksesnya penyampaian dakwah terhadap Mad’u. Tentunya seorang Da’i juga perlu mengetahui kondisi Mad’u, kiranya metode dakwah yang seperti apa yang perlu diaplikasikan oleh Da’i terhadap Mad’u. Sehingga metode dakwah yang digunakan dapat mengenai sasaran dan pada akhirnya akan mengantarkan pada suksesnya penyebaran dakwah.

4.             Penyuluh Agama

                 a        Pengertian Penyuluh Agama

Kata penyuluhan dalam term bimbingan dan penyuluhan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris dalam bahasa sehari-hari, istilah ‘’penyuluhan’’ sering digunakan untuk menyebut pemberian penerangan , diambil dari kata suluh yang berarti dengan obor, misalnya penyuluhan pertanian, dimaksud pemberian penerangan kepada para petani tentang cara-cara bertani secara baik. Demikian juga istilah penyuluhan kesehatan, dimaksud pemberian penerangan tentang cara-cara hidup secara sehat, atau penyuluhan keluarga berencana yang merupakan program kegiatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Di lingkungan Departemen Agama juga dikenal adanya penyuluh agama pada Kantor Urusan Agama Tingkat Kecamatan, dan di sini pun kata penyuluhan mengandung arti penerangan. [18]

   Maka Penyuluh Agama Islam dapat dirumuskan sebagai individu yang memberikan bantuan kepada seseorang atau kelompok orang yang sedang mengalami kesulitan lahir batin dalam menjalankan tugas-tugas hidupnya dengan menggunakan pendekatan agama, yakni dengan membangkitkan kekuatan getaran batin (iman) di dalam dirinya untuk mendorongnya mengatasi masalah yang dihadapinya khususnya pada pasangan calon suami istri untuk membentuk keluarga yang sakinah. Penyuluhan Agama Islam merupakan bantuan yang bersifat mental sepiritual di mana diharap dengan melaui kekuatan iman dan takwanya kepada Tuhan seseorang mampu mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapinya.

Untuk menemukan target-target ideal yang harus menjadi bagian dari rutinitas kerja seorang penyuluh, penulis akan menjelaskan secara teoritik aspek-aspek muatan-muatan kedudukan mereka dalam membimbing berdasarkan kepada semua cakupan yang telah penulis deskripsikan di atas. Adapun penjelasan tersebut adalah :

   Pertama; Juru Penerang dan pemberi petunjuk ke arah kebenaran. Manusia lahir dengan membawa thabiat (perwatakan) yang berbeda.Watak tersebut dapat berupa jiwa pada berupa jiwa pada anak atau hati sanubari yang dapat mengantarkan untuk sampai pada ma’rifatullah. Sebelum menginjak usia baligh, anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir. Kehadiran seorang pembimbing di sekitar mereka merupakan langkah efektif untuk memerangi tingkatan dasar mereka akan pengetahuan agama. Motivasi seorang pembimbing sekaligus juru penerang dalam memfilterisasikan pemahaman agama terhadap anak merupakan aspek-aspek efektif bagi penunjangan mutu keagamaan ini. Penyuluh Agama Islam dalam realitasnya di masyarakat mengambil bagian ini untuk dijalankan.

Kedua; Juru Pengingat (Mudzakkir). Masyarakat dengan beragam pengetahuan mereka akan ajaran agama darinya dapat menciptakan pula pemahaman keagamaan yang berbeda. Secara alamiah manusia merupakan makhluk yang tidak dapat membantah keberadaannya sebagai makhluk yang tidak dapat membantah keberadaannya sebagai makhluk yang religious. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia dapat jauh dari hakekatnya tersebut. Bahkan dalam kehidupannya keagamaan pun kerapkali muncul pula sebagai masalah yang menimpa dan menyulitkan individu. Timbulnya kenyataan ini pastilah memerlukan penanganan bimbingan dan penyuluhan yang islami. Mengarahkan masyarakat dan membimbing mereka merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh individu yang lebih berkompetensi di atas pengetahuan yang mereka miliki.[19] Kedudukan Penyuluh Agama Islam sebagai  juru pengingat (Mudzakkir) sangat berperan sekali untuk menduduki serta berperan aktif bagi pendalaman mutu keagamaan di setiap individu maupun masyarakat.

Ketiga; Juru penghibur (Mubassyir) hati yang duka. Menurut mujib, struktur kepribadian perspektif islam adalah fitrah. Sementara itu, struktur fitrah memiliki tiga dimensi kepribadian (1) dimensi fisik yang disebut dengan fitrah jasmani, (2) dimensi psikis yang disebut dengan fitrah rohani (3).Dimensi psikologis yang disebut fitrah nafsani.[20] Ketiga dimensi tersebut memiliki korelasi yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Eksistensi ketiganya menjamin keselarasan terhadap yang lainnya.Untuk menghidupkan ketiganya dalam bingkai yang sempurna, maka perlu untuk menjaganya dengan mengetuk hati setiap pelaku nilai-nila hakiki yang telah mereka berikan bagi keberlangsungan semua entitas tersebut. Kehadiran Penyuluh Agama Islam sebagai mubassyir untuk menciptakan semua individu Muslim memiliki karakter ideal, seperti karakter kepribadian rabbani, qur’ani, mushall, shaim, mujahiddan shabir.[21]

Keempat; Juru Penyampai (Muballigh) penyampai pesan-pesan keagamaan. Guru agama yang secara built-in (melekat) adalah juga sebagai guidance counselor agama menurut pandangan islam adalah lebih dari sekedar seorang pendidik, melainkan juga sebagai penolong yang bertugas membantu anak bimbing memecahkan problem kehidupan melalui berbagai metode terutama berdasarkan pendekatan keagamaan yang berdasarkan pada psikologi perkembangan (agama) dan bidang ilmu lainnya yang relevan. Tugas ini dipandang sebagai warisan para nabi yang berfungsi sebagai petunjuk jalan kearah cahaya yang terang keluar dari kegelapan hidup, terutama yang berkaitan dengan mental dan sepiritual anak bimbing.[22] Posisi ini merupakan bagian dari posisi seorang muballigh yang menyampaikan semua pesan-pesan keagamaannya demi menciptakan suatu kouta masyarakat yang berjalan di jalan-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mentaati semua perintah-Nya. Dalam hal ini Penyuluh Agama Islam berkepentingan untuk menyampaikan dan menyiarkan ajakan ke jalan Allah utuk menghasilkan mutu keagamaan masyarakat yang ideal.

5.             Keluarga Sakinah

a.    Pengertian Keluarga Sakinah

Kehidupan berkeluarga atau menempuh kehidupan dalam perkawinan adalah harapan dan niat yang wajar dan sehat dari setiap anak muda dan remaja dalam masa pertumbuhannya. Pengalaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa membangun keluarga itu mudah, tetapi memelihara dan membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami istri sangat sulit. keluarga yang bisa mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan itu yang disebut dengan keluarga sakinah.[23] Untuk mecapai suatu kebahagiaan diperlukan pula adanya saling pengertian dan saling memahami antara suami dan istri agar hubungan tersebut bisa tetap terjaga sehingga pada akhirnya akan membentuk keluarga yangsakinah mawadah warahmah.

Penggunaan kata sakinah diambil dari Al-Qur’an surat al-Ruum: 21

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr&%[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7ÏsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

           

   Menurut pandangan Ahmad Atabik tentang Litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tentram terhadap yang lain. Dalam bahasa arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Pengertian ini pula yang dipakai dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis dalam kontes kehidupan manusia. Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak, tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu . Yang dimaksud dengan rasa kasih dan sayang adalah rasa tentram  dan nyaman bagi jiwa rasa dan kemantapan hati menjalani hidup serta rasa aman dan cinta kasih yang terpendam jauh dalam lubuk hati manusia sebagai hikmah yang dalam dari nikmat Allah kepada makhluk-Nya yang saling membutuhkan.[24]

Keluarga sakinah berarti keluarga yang tenang atau keluarga yang tentram. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir dan batin, hidup cinta-mencintai dan kasih-mengasihi, di mana suami bisa membahagiakan istri, sebaliknya, isteri bisa membahagiakan suami, dan keduanya mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah, yaitu anak-anak yang berbakti kepada orang tua, kepada agama, masyarakat, dang bangsanya. Selain itu, keluarga sakinah juga mampu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun dalam bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.

b.   Ciri-Ciri Keluarga Sakinah

   Semua orang yang sudah berkeluarga menambakan keluarga sakinah.  Pada dasarnya, keluarga sakinah sukar diukur karena merupakan satu perkara  yang abstrak dan hanya boleh  ditentukan oleh pasangan yang berumah tangga. Menurut Ahmad Atabik, terdapat beberapa cirri-ciri keluarga sakinah, diantaranya:

1)             Rumah tangga didirikan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah

   Asas yang paling penting dalam pembentukan sebuah keluarga sakinah ialah rumah tangga yang dibina atas landasan takwa, berpandukan al-Qur’an dan sunah dan bukannya atas dasar cinta. Semata-mata ia menjadi panduan kepada suami istri sekiranya menghadapi perbagai masalah yang akan timbul dalam kehidupan berumah tangga.

2)             Rumah tangga berasaskan kasih sayang (mawaddah warahmah)

   Tanpa al-Mawahdah dan al-Rahmah , masyarakat tidak akan dapat hidup dengan tenang dan aman terutamanya dalam institusi kekeluargaan. Dua perkara ini sangat diperlukan karena sifat kasih sayang yang wujud dalam sebuah rumah tangga dapat melahirkan sebuah masyarakat yang bahagia, saling menghormati, saling mempercayai dan tolong menolong. Tanpa kasih sayang, perkawinan akan hancur, kebahagiaan hanya akan menjadi angan-angan saja.

3)             Mengetahui peraturan berumah tangga

   Setiap keluarga seharusnya mempunyai peraturan yang patut dipatuhi oleh setiap ahlinya yang mana seorang istri wajib taat kepada suami dengan tidak keluar rumah melainkan setelah mendapat izin, tidak menyanggah pendapat suami walaupun si istri merasakan dirinya betul selama suami tidak melanggar syari’at, dan tidak menceritakan hal rumah tangga kepada orang lain. Anak pula wajib taat kepada kedua orang tuanya selama perintah keduanya tidak bertentangan  dengan larangan Allah. Suami merupakan ketua keluarga dan mempunyai tanggung jawab memastikan setiap ahli keluarganya untuk mematuhi peraturan dan memainkan peranan masing-masing dibentuk.

4)             Menghormati dan mengasihi kedua ibu bapak

   Perkawinan bukanlah semata–mata menghubungkan antara kehidupan kedua pasangan tetapi ia juga melibatkan seluruh kehidupan keluarga kedua belah pihak, terutamanya hubungan terhadap ibu bapak kedua pasangan. Oleh itu, pasangan yang ingin membina sebuah sebuah keluarga sakinah seharusnya tidak merapikan ibu bapak dalam urusan pemilihan jodoh, terutamanya anak lelaki. Anak lelaki perlu mendapat restu kedua ibu bapaknya karena perkawinan tidak akan memutuskan tanggung jawab terhadap kedua ibu bapaknya. Selain itu, pasangan juga perlu mengasihi ibu bapak supaya mendapat keberkatan untuk mencapai kebahagiaan dalam berumah tangga.

5)             Menjaga hubungan kerabat dan ipar

   Antara tujuan ikatan perkawinan ialah untuk menyambung hubungan keluarga kedua belah pihak termasuk saudara ipar kedua belah pihak dan kerabat-kerabatnya. Karena biasanya masalah seperti perceraian timbul disebabkan kerenggangan hubungan dengan kerabat dan ipar.[25] Dengan adanya ke lima indikasi-indikasi di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa suatu hubungan akan dapat dikatakan keluarga yang harmonis apabila kelima ciri-ciri tersebut terdapat dalam suatu hubungan dua insan suami istri.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Dakwah Kultural Dan Struktural, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2012

Amin Mashur, Dakwah Islam dan Pesan Moral,  Al Amin Press, Yogyakarta, 1997

Aripudin Acep, Pengembangan Metode Dakwah, Respon Da’i Terhadap Dinamika Kehidupan Beragama Di Kaki Ciremai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Atabik Ahmad,  Dari Konseling Perkawinan Menuju Keluarga Samara, dalam Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Konseling Religi, Jurusan Dakwah, Volume 4, Nomer 2, 2013

Aziz Ali, Edisi Revisi Ilmu Dakwah, PT. Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, 2009

Faqih Rahim Ainur, Bimbingan dan Konseling Islami, UII Press, Yogyakarta

M. Arifin, Psikologi Dakwah, Bumi Aksara, Jakarta, 1997

Mubarok Achmad, Konseling Agama Teori dan Kasus, PT Bina Rena Pariwata, Jakarta, 2002

Mubasyaroh, Metodologi Dakwah, STAIN Kudus, 2009

Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta

Saputra Wahidin , Pengantar Ilmu Dakwah,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Sartono dan Umar, Bimbingan dan Penyuluhan,  Pustaka Setia, Bandung, 1998

--------------Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif Kualitatif Dan R&D), CV.Alfabeta, Bandung, 2007

Muti’ah Siti, Metodologi Dakwah Kontemporer, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000

 



[1]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2004, hlm. 69.

   [2] Ahmad Atabik,  Dari Konseling Perkawinan Menuju Keluarga Samara, dalam Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Konseling Religi, Jurusan Dakwah, Volume 4, Nomer 2, 2013, hlm.  151.

[3] Abdullah, Dakwah Kultural Dan Struktural, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2012, hlm. 7.

[4] M. Mashur Amin, Dakwah Islam Dan Pesan Moral, Al-Akien Press: Yogyakarta, 1997, hlm. 8-10.

[5] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 2.

[6] M. Arifin, Psikologi Dakwah, Bumi Aksara, Jakarta, 1997, hlm. 47.

[7] Siti Muri’ah, Metodologi Dakwah Kontemporer, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000, hlm. 22-23.

[8] Ali Aziz, Edisi Revisi Ilmu Dakwah, PT. Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, 2009, hlm. 175-190.

   [9] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 242.

   [10] Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, Respon Da’i Terhadap Dinamika Kehidupan Beragama Di Kaki Ciremai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 72.

   [11] Ibid hlm. 242.

   [12] Ibid hlm. 243.

   [13] Wahidin saputra, Pengantar Ilmu Dakwah,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 36.

   [14] Mubasyaroh, Metodologi Dakwah, STAIN Kudus, 2009, hlm. 87.

   [15] Abdullah, Dakwah Kultural Dan Struktural, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2012, hlm. 27-29.

   [16] Ibid, hlm. 26.

   [17] Ali Aziz, Edisi Revisi Ilmu Dakwah, PT. Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, 2009, hlm. 359-381.

   [18] Achmad Mubarok, Konseling Agama Teori dan Kasus, PT Bina Rena Pariwata, Jakarta, 2002, hlm. 2.

   [19] Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Islami, UII Press, Yogyakarta, hlm. 48.

   [20] Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, hlm. 122.

   [21]Ibid, hlm.126.

   [22] Umar dan Sartomo, Bimbingan dan Penyuluhan,  Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 88.

[23]Ahmad Atabik,  Dari Konseling Perkawinan Menuju Keluarga Samara, dalam Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Konseling Religi, Jurusan Dakwah, Volume 4, Nomer 2, 2013, hlm. 162.

 

   [24] Ibid hlm. 163.

[25]Ibid, hlm. 165-166.