MATERI BAHAN AJAR DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF PENYULUH AGAMA ISLAM NON PNS
WAWASAN
AL-QUR’AN
BAHAN AJAR DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF PENYULUH AGAMA ISLAM
NON PNS ANGKATAN I DI LINGKUNGAN KAB. LOMBOK TIMUR
Oleh : Drs. H. Kuayamto, M.Pd
A. Pengertian al-Qur’an
1.
Pengertian al-Qur’an menurut bahasa
Menurut
bahasa, kata القرآن adalah akar kata (mashdar) dari kata kerja قرأ (fi‘il mâdhi) yang berarti membaca. Bentuk masdar dari قرأ ada dua yaitu قراءة
dan قرآنا; keduanya
berarti bacaan (Ibrahim Anis, 1392 : 722). Kata قرآن yang berarti “bacaan” ini terdapat dalam firman Allah SWT
sebagai berikut:
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ. فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
(القيامة: 18-17)
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. (Q.S. al-Qiyâmah,
17-18”
Kata
قرآن adalah
bentuk masdar dengan timbangan فعلان. Pengertian dalam
bentuk masdar ini dijadikan nama bagi
wahyu atau kalâmullâh, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak kurang dari 68 kali (M. Fuad Abdul
Baqi, 1407 : 539), kata قرآن
yang berarti wahyu atau kalâmullâh,
diulang dalam Al-Qurân.
2. Pengertian
al-Qur’an menurut Istilah
Menurut bahasa, definisi
al-Qur’an paling sederhana dikemukakan oleh Mannâ‘
Al-Qattân (1973 : 20). Ia mengatakan bahwa pengertian Al-Qurân adalah :
كلام
الله المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم المتعبد بتلاوته.
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW., membacanya merupakan ibadah”.
Berdasarkan definisi
di atas, maka al-Qurân adalah wahyu atau kalâmullâh. Selain kalâmullâh,
tidak dapat dinamakan Al-Qurân, sekalipun isi atau maksudnya dari Allah SWT.
Al-Qurân itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, berarti wahyu yang diturunkan
kepada selain Nabi Muhammad, tidak dapat dinamakan Al-Qurân. Al-Qurân itu
disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril AS.
B.
Cara Membaca al-Qur’an yang Benar
Membaca
al-Qur’an dengan baik dan benar dalam kajian Islam diukur dengan ilmu tajwid.
Seseorang yang baik bacaannya adalah orang yang mampu menerapkan kaidah-kaidah
ilmu tajwid serta segala aspek yang ada di dalamnya.
- Ilmu Tajwid
Menurut
bahasa, tajwid berasal dari kata jawwada, yujawwidu, tajwidan (membuat
bagus). Dalam pengertian lain menurut lughah tajwid dapat pula diartikan
sebagai:
اَلأِتْيَانِ بِالْجَيِّدِ
“Segala sesuatu yang mendatangkan
kebajikan”.
Sedangkan pengertian tajwid menurut istilah:
عِلْمُ يُعْرَفُ بِهِ اِعْطاَءُ كُلِّ حَرْفٍ حَقَّهُ وَمُسْتَحَقَّهُ مِنَ
الصِّفَاتِ وَالْمُدُودِ وَغَيرِ ذلِكَ كَالتَّرْقِيْقِ وَالتَّفْخِيْمِ
وَنَحْوِهِمَا
“Ilmu yang memberikan segala pengertian tentang huruf,
baik hak-hak huruf (haqqul huruf) maupun hukum-hukum baru yang timbul setelah
hak-hak huruf (mustahaqqul harf) dipenuhi, yang terdiri atas sifat-sifat huruf,
hukum-hukum mad dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah tarqiq, tafkhim, dan
yang semisalnya”.
Jadi tajwid adalah ilmu yang mempelajari cara baca
dengan baik dan benar agar terhindar dari kesalahan dalam melantunkan ayat-ayat
al-Qur’an yang dibaca.
download file lengkapnya disini
- Aspek-aspek Ilmu Tajwid
Sesungguhnya
pembahasan ilmu tajwid itu sangat luas. Di antara yang sering dibahas dalam ilmu
tajwid adalah aspek makharijul huruf, sifatul huruf, ahkamul mad wal qasr,
waqaf wal ibtida’. Dan ini merupakan aspek-aspek penting dalam ilmu tajwid.
Namun karena begitu luasnya pembahasan ilmu tajwid, maka disini hanya akan dibahas
beberapa komponen penting yang dibutuhkan penyuluh dalam membina masyarakat
nantinya, yaitu :
a.
Makharijul Huruf
Menurut bahasa, kata makharij adalah jamak
dari kata makhraj yang berarti tempat keluar sesuatu. Sedangkan
menurut istilah, makharijul huruf adalah Tempat keluarnya huruf yang
padanya berhenti suara dari sebuah lafadz (pengucapan) yang dengannya dibedakan
suatu huruf dengan huruf lainnya.
Adapun jumlah makharijul huruf yang harus dipelajari tercakup dalam lima
tempat (makhraj) secara umum (global), yaitu:
1). Al-Jauf (rongga mulut
dan rongga tenggorokan), makhraj yang keluar darinya tiga huruf mad,
yaitu: Alif yang
sebelumnya huruf ber-harakat fathah, Wau sukun
yang sebelumnya huruf yang ber-harakat dhammah, Ya sukun yang sebelumnya
huruf yang ber-harakat kasrah.
2). Al-Halq (tenggorokan), jumlah huruf hijaiyah yang keluar dari makhraj
al-halq adalah 6 huruf. Keenam huruf diatas (غ
–خ –ع –ح –ه –ء)
disebut huruf-huruf halqiyyah (حَلْلقِيَّةُ ) yang artinya huruf tenggorokan, karena
keluar dari bagian organ tenggorokan.
3). Al-Lisan (lidah), padanya ada 10 makhraj. Ada 18 huruf
yang keluar dari al-lisan (lidah) yaitu huruf qaf, kaf , jim, syin,
ya, dhad, lam, nun, ra, tha, dal, ta, shad,
sin, zai, zha, dza, dan tsa.
4). Asy-Syafatain (dua bibir), padanya ada 2 makhraj. Huruf yang
keluar dari makhraj ini ada empat huruf, yaitu: fa’ mim, ba’,
dan waw.
5). Al-Khaisyum (rongga hidung), padanya ada 1 makhraj. Al-Khaisyum
artinya aqshal anfi atau pangkal hidung. Dari makhraj ini
keluar satu makhraj, yaitu ghunnah (sengau/dengung). Setidaknya
ada empat tempat yang padanya terjadi bunyi sengau, yaitu ; pada huruf mim dan
nun ber-tasydid, pada idgham bi ghunnah, bacaan ikhfa
dan bacaan iqlab.
b.
Ahkamul Huruf
Ahkamul Huruf adalah hukum-hukum
bacaan huruf setelah proses keluarnya huruf-huruf tersebut dari makhraj
(tempat keluar)-nya. Seperti; ghunnah (berdengung) dan tidak berdengung
(bilaa ghunnah).
1). Bacaan yang berdengung (ghunnah)
a)
Ikhfa
Ikhfa adalah membunyikan
huruf nun mati atau tanwin dengan
samar-samar dengan bunyi sengau sepanjang dua harakat (ketukan).
b)
Iqlab
Iqlab, yaitu membalik bunyi nun mati
dan tanwin menjadi bunyi mim mati ketika bertemu dengan satu huruf iqlab, yaitu hurup.
c)
Idghom bighunnah
Idgham bighunnah menurut ilmu tajwid
adalah memasukkan bunyi nun mati atau tanwin ke dalam huruf-huruf idgham yang
empat yakni, ya, waw, mim, nun.
d)
Idghom miimi
Idghom
miimi yakni
mim mati bertemu dengan huruf mim dengan cara membacanya adalah dengan
memasukkan suara huruf mim mati kedalam huruf mim setelahnya yang disertai
dengan mendengung.
2). Bacaan yang tidak berdengung
(bilaa ghunnah)
a)
Izhar
Idzhar adalah bacaan nun
mati atau tanwin yang dibaca terang atau jelas apabila diikuti salah
satu dari huruf halqy (huruf kerongkongan) yakni; alif, ha, ain, ha,
ghain, kha.
b)
Izhar Syafawi
IdzharSyafawi berasal dari kata “syafatun”
artinya bibir. Bacaan idzhar syafawi adalah bacaan yang dibaca terang atau
jelas. Sedangkan makhraj (tempat keluarnya) huruf berada di bibir. Huruf
yang dibaca terang pada bacaan ini adalah huruf mim matinya. Disebut bacaan
idzhar syafawi apabila ada huruf mim mati ( مْ
) diikuti salah satu dari huruf hijaiyah kecuali mim dan ba’. ( ب , م ).
c)
Idghom bilaa ghunnah
Idham bilaghunnah artinya memasukkan
nun mati atau tanwin ke dalam suara huruf di depannya dengan tanpa dengung. Hukum
bacaan idgham bilaghunnah terjadi apabila terdapat nun mati atau tanwin diikuti
salah satu dari huruf ل
(Lam), ر (Ra’).
c.
Mad wal Qashar
Dari segi bahasa, mad
mempunyai arti ziyadah atau bertambah/lebih. Menurut istilah, mad
berarti Memanjangkan suara dengan salah satu huruf dari huruf-huruf mad. Sedangkan
qashar artinya tetap huruf mad tanpa dipanjangkan atau tampa tambahan
apa-apa. Mad itu menurut garis besarnya terbagi dua, yaitu :
1). Mad Ashli (Mad Thabi’i) yaitu
Mad (panjang-bacaan) dengan adanya satu huruf mad yang tersebut
diatas, yang tidak diiringi oleh hamzah
atau oleh huruf yang ber-tasydid, atau huruf yang mati. Maka
ukuran panjangnya ialah satu alif atau dua harakat. Mad ashli
dikenal pula dengan mad thabi’i.
2). Mad Far’i, yaitu mad (panjang bacaan) yang bertambah dari pada ukuran mad
ashli dengan sebab disambut oleh hamzah atau sukun (tanda
mati). Mad far’i terbagi kepada 13 macam, yaitu : Mad wajib muttashil,
Mad jaiz munfashil, Mad aridh lissukun, Mad badal, Mad iwadh, Mad lazim
mutsaqqal kalimi, Mad lazim mukhoffaf kalimi, Mad lazim mutsaqqal harfi, Mad
lazim mukhaffaf harfi, Mad lin, Mad shilah, Mad farq dan Mad tamkin.
Secara ringkas, Hukum bacaan mad far’i di atas, terbagi tiga; Lazim,
artinya sepakat semua ahli qira-at membacanya dengan mad dan sepakat
pula dengan jumlah harkatnya. Wajib
artinya sepakat semua ahli qira-at membacanya dengan mad namun berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah harkatnya. Dan Jaiz artinya
hukum yang menunjukkan tidak terdapatnya kesepakatan , apakah dibaca mad atau dibaca qashar.
d.
Waqaf wal Ibtida’
Waqaf dari sudut bahasa ialah
berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah tajwid, wakaf ialah
menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir perkataan untuk
bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan (washal). Ringkasan
tanda wakaf dan maknanya sebagimana table berikut :
TANDA-TANDA WAQAF DAN TATA CARANYA :
NO
|
TANDA
|
ARTINYA
|
MAKSUD DARI TANDA
WAQAF
|
1
|
☼
Ra’sul ayat
|
Tanda berhenti yang paling
sempurna.
|
Mesti berhenti, kecuali jika
menyalahi makna ayat.
|
2
|
م
|
Waqaf laazim
|
Mesti berhenti
|
3
|
ط
|
Waqaf muthlaq
|
Mesti berhenti (waqaf sempurna)
|
4
|
ج
|
Waqaf ja-iz
|
Boleh waqaf dan boleh terus
|
5
|
ز
|
Waqaf mujawwaz
|
Waqaf yang dibolehkan/hampir
sama dengan waqaf ja-iz
|
6
|
ص
|
Waqaf murakhkhash
|
Waqaf yang diringankan
hukumnya/boleh bagi orang yang pendek nafas.
|
7
|
قلى
|
Waqaf aula
|
Lebih baik waqaf
|
8
|
صلى
|
Washal aula
|
Terus lebih baik dari pada
waqaf
|
9
|
Mutabiq ala ma qablahu
|
Serupa dengan tanda waqaf
sebelumnya
|
|
10
|
Titik 3 dua
berturut2
|
Waqaf mu'anaqah
|
Berhenti hanya pada salah
satunya dan terus pada tanda yang lain
|
11
|
لا
|
'admul waqaf
|
Tidak boleh waqaf disitu,
kecuali ia berada pada batas/nomor ayat dan tidak menyalahi arti.
|
Tata cara wakaf (menghentikan) bacaan al-Qur’an adalah
sebagai berikut :
1)
Berwaqaf/berhentilah pada setiap
tanda/batas ayat, sudah termasuk waqaf taam.
2)
Berhentilah pada setiap ada tanda
waqaf yang telah ditetapkan ulama qira-at, kecuali tanda waqaf “mumtani’” jika sangat menyalahi makna
ayat.
3)
Jika ayatnya panjang, lalu tidak
ada tanda waqah maka berhentilah pada akhir suku kata/kalimat dengan benar dan
diulang kembali satu/dua kalimat ke belakang.
4)
Jika berhenti ditengah kalimat/suku
kata karena alasan tidak ada tanda waqaf atau nafas habis dan lain sebagainya,
itu merupakan waqaf qabih/jelek.
- Ayat-ayat Gharibah dan Contohnya
Ghorib artinya asing. Bacaan Ghorib adalah bacaan yang
asing, yaitu bacaan yang tidak sebagaimana biasanya sehingga dikhawatirkan
salah dalam membacanya. Agar tidak turut latah dan membiarkan terjadinya
kesalahan, alangkah baiknya apabila dicatat dan dipelajari ayat-ayat yang
mengandung bacaan Ghorib tersebut, yaitu :
1. Saktah
Saktah
adalah berhenti sejenak tanpa bernafas, dengan tujuan untuk meluruskan arti
ayat. Di dalam mushhaf rosmul utsmani, ‘saktah’ ditandai dengan huruf
‘SIN’ kecil pada ayat yang mengandung ‘saktah’ tersebut. Menurut Imam
Hafash, saktah hanya ada di 4 tempat yaitu surat al-Kahfi ayat 1-2, Yasiin
ayat 52, al-Qiyamah ayat 27, dan al-Muthaffifin ayat 14.
Pada
contoh di bawah ini, khuruf ‘SIN’ (sebagai tanda saktah) terletak antara kata
berwarna merah dan kata berwarna biru. Di antara kedua kata itulah terjadi
saktah. Berikut ini adalah ayat yang mengandung saktah:
a. Surat Al-Kahfi
(18) antara ayat 1 dan 2:
b.
Surat Yasiin (36) ayat 52:
c.
Surat Al-Qiyaamah ayat 27:
d.
Surat Al-Muthoffifiin ayat 14:
2. Imalah
Imalah adalah pembacaan fathah yang miring ke
kasroh pada surat Hud ayat 41. Bunyi RO dibaca RE
sehingga menjadi majREha. Berikut ini adalah ayat yang mengandung Imalah, yaitu
:
3. Isymam
Isymam adalah menampakkan dhommah yang
terbuang dengan isyarat bibir ketika membaca kata ‘LAATA’MANNA’
pada surat yusuf ayat 11. Teks
lengkap surat Yusuf ayat 11 adalah sebagai berikut:
4. Naql
Naql adalah memindahkan
simbol/baris kasroh pada khuruf HAMZAH ke huruf LAM,
yaitu pada surat Al-Hujurot ayat 11. Berikut ini adalah ayat yang mengandung Naql,
yaitu :
C.
Contoh-contoh
bacaan al-Qur’an yang Benar
Bacaan al-Qur’an yang benar sesuai kaidah ilmu
tajwid hanya dapat diwujudkan dengan cara talaqqi (bertemu/mendengar
langsung). Talaqqi dalam arti yang sesungguhnya adalah bertemu langsung
dengan guru al-Qur’an yang mempunyai sanad sampai ke guru-guru al-Qur’an yang terkenal
dan bahkan sampai ke Rasulullah SAW. Dalam konteks kekinian talaqqi juga
dapat berupa CD yang diperdengarkan dan dipedomani bacaan imam/qori yang ada di
dalamnya. Misalnya contoh bacaan tartil (murattal) dalam tayangan berikut :
1.
Bacaan
Tartil (lihat video)
2. Bacaan ayat-ayat Gharibah (lihat video)
D.
Identifikasi ayat-ayat Pilihan
1.
Q. S. an-Nahl
ayat 125
Artinya : Serulah
(manusia) kepada jalan Tu-hanmu dengan hikmah) dan penga-jaran yang baik, dan
berdebatlah de-ngan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah
yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih me-ngetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.S.
an-Nahl : 125)
2.
Q. S.
Ali Imran ayat 104
Artinya : Dan
hendaklah di antara kamu ada se-golongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mung-kar.) Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran : 104)
3.
Q. S. Ali Imran ayat 110
Artinya : Kamu (umat Islam) adalah umat ter-baik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentu-lah itu lebih
baik bagi mereka. Di an-tara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah
orang-orang fasik. (Q. S. Ali Imran : 110)
Identifikasi
beberapa ayat al-Qur’an di atas adalah ayat-ayat yang terkait dengan
kepenyuluhan (dakwah) yang menyeru manusia ke jalan Allah SWT.
E.
Pengertian
Hadis
1.
Pengertian
hadis secara bahasa
Secara
etimologi/bahasa, kata hadis berasal dari bahasa Arab yaitu al-hadits dengan bentuk
jamaknya adalah ahâdîts yang berarti cerita, berita, atau riwayat dari Nabi SAW (Mahmud Yunus,
1990 : 98). juga bisa berarti al-khabr“,yang dalam bahasa Indonesia
diartikan dengan “berita” atau “perkataan dari seseorang yang disampaikan
kepada orang lain” (Ahmad Warson Munawwir, 1884 : 344) . Dan hadis dengan arti “al-jadîd”, yakni sesuatu yang baru atau
modern sebagai lawan dari kata al-qadîm, yakni sesuatu yang telah lama.
terakhir hadis dengan arti al-qarîb, yakni sesuatu yang dekat atau yang
belum lama terjadi.
Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, dapat ditegaskan bahwa hadis menurut bahasa adalah sebuah berita yang
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
2.
Pengertian
hadis secara istilah
Pengertian hadis secara istilah,
terdapat sedikit perbedaan ulama, antara ulama hadis (muhadditsîn) dengan ulama ushul (ushuliyyin). Menurut ulama hadis (muhadditsîn), secara istilah hadis sama dengan pengertian sunnah,
yaitu :
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه
وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء أكان قبل البعثة
أم بعدها.
“ Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul Saw, apakah berupa perkataan,
perbuatan, dan ketetapannya, atau sifat fisik, akhlak, atau sejarah hidupnya,
baik itu terjadi sebelum kenabian atau sesudahnya”.
Sementara menurut ulama ahli
ushul (ushuliyyîn) hadis adalah :
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن
الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي.
“Segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya yang dapat atau pantas dijadikan
dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Pengertian yang dijelaskan
oleh ulama ushul di atas bermakna bahwa yang dimaksud dengan hadis hanyalah
segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasul Saw yang ada hubungannya dengan
hukum dan mengandung misi kerasulan beliau yang berkonsekwensi hukum.
3.
Fungsi hadis
a. Hadis atau sunnah menjelaskan
hal yang mujmal atau global dalam Al-Qur’an menyangkut ibadah dan hukum.
Misalnya Allah mewajibkan shalat atas orang-orang mukmin tanpa menjelaskan
waktu, rukun-rukun dan jumlah raka’atnya. Maka hadis atau sunnah menjelaskan
melalui praktik shalat Rasulullah
berikut dengan metode pengajarannya kepada kaum muslimin tentang tata cara shalat itu sendiri. Hal tersebut termaktub
dalam hadis.
b. Fungsi Hadis atau sunnah Rasul SAW terhadap Al-Qur’an adalah mentaqyid
(memberikan batasan) terhadap lafal mutlak (kata yang tidak disertai
batasan), seperti tergambar dalam firman-Nya surat al-Nisa` ayat 12. Ayat tersebut bersifat mutlaq, tidak ada batasan berapa batasan kebolehan berwasiat.
Apakah seluruh harta boleh diwasiatkan atau sebagiannya. Maka dalam percakapan
antara Rasulullah SAW dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau memberi batasan
dengan sabdanya.
c. Fungsi Hadis atau sunnah berfungsi menegaskan (mutsbitah) dan
menguatkan (muakkidah) terhadap informasi yang dikemukakan dalam
Al-Qur’an atau menjelaskan prinsip yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Jadi tidak terbantahkan
lagi, bahwa hadis atau sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran
yang berfungsi sangat strategis, keberadaan dan otoritas hadis atau sunnah ini
sebagai sebuah sumber hukum dalam Islam wajib diperpegangi.
F. Klasifikasi Hadis
1.
Hadis ditinjau dari jumlah
perawinya.
a. Hadis Mutawatir
Hadis
mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam kuantitas yang
tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan kedustaan. Hadis mutawatir juga
dapat dibagi tiga; yakni 1). Mutawatir Lafzhiy, 2). Mutawatir Maknawi dan 3).
Mutawatir amaliy.
b. Hadis Ahad
Hadis
ahad adalah Hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadis mutawatir, baik ia diriwayatkan seorang
perawi saja, dua, tiga atau lebih. Hadis ahad juga dapat dibagi tiga; yakni 1).
Hadis Masyhur, 2). Hadis Aziz dan 3). Hadis Gharib.
2.
Hadis ditinjau dari kualitas
perawinya
a. Hadis Shahih
Hadis sahih adalah hadis yang memiliki sanad yang
bersambung (kepada nabi SAW), diriwayatkan oleh (perawi) yang ‘adil dan dhabith,
hingga akhir sanadnya, dan tidak ada kejanggalan dan ‘illatnya.
b. Hadis Hasan
Hadis hasan tidak berbeda dari definisi Hadis sahih tetapi perawinya
terdapat sedikit kelemahan hapalan dalam meriwayatkan Hadis tersebut.
c. Hadis Dha’if
Hadis dha’if adalah Hadis yang
tidak terhimpun padanya ciri-ciri Hadis sahih dan tidak pula Hadis hasan.
G.
Identifikasi Hadis-hadis Pilihan
1.
Hadis tentang perintah amar
ma’ruf nahi munkar
عن أبي سعيد الخدرى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Artinya : Dari Abu Sa’id
al-Khudriy, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda ; siapapun di antara kamu
yang melihat kemungkaran hendaklah mengubahnya dengan tangan dan kekuasaannya. Apabila
tidak mampu dengan cara ini, hendaklah menggunakan lisannya (nasehatnya). Apabila
dengan cara ini tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Dan demikian itu adalah
termasuk selemah-lemahnya iman ” (H.R. Muslim)
2.
Hadis tentang kewajiban dakwah
dan pahala menyeru kepada kebaikan
عنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قال : قال رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا
Artinya ; Hadis dari
Abu Hurairah, ia berkata; Bersabda Rasulullah Saw barang siapa mengajak orang
kepada petunjuk, maka dia memperoleh pahalanya sama dengan pahala orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka masing-masing sedikitpun, dan siapa
yang mengajak kepada kejahatan, maka dia akan mendapat dosanya sama dengan dosa
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka masing-masing. (H.
R. Abu Daud).
3.
Hadis tentang pahala bagi pelopor
kebajikan
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya : "Barangsiapa yang
memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh
pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka
dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun." ( H.R. Muslim)
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan
Terjamahannya, Bimas Islam, Jakarta: 2012
Anis,
Ibrâhîm, Al-Mu‘jam al-Wasîth, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1392 H, Cet.
II
Al-Baqi, Muhammad Fûad ‘Abd, Al-Mu‘jam
al-Mufahras lî Alfâzh Al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1407 H/1987 M
Al-Qattan, Manna‘ Khalil, Mabahis fî ‘Ulum
Al-Qur’an, Beirut: al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973 M
Muhassin.”Memahami
Hukum Tajwid dan Kaedahnya”. Jakarta : Bintang Indonesia, 2012
Yunus,
Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Hidakarya, 1990
Munawwir, Ahmad
Warson, Al-Munawwir Qamus ‘Arabiy Indonesiy, Yogyakarta : Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiyah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984
Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat
Islam No. DJ. III/432 tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Pengangkatan Penyuluh
Agama Islam Non PNS
http//m.arysandi.abatasa.co.id/ayat-ayat ghoribah.htm,
diakses tanggal 2 Februari 2017